Warga RI Terkuras Buat Judol, Bantu Pemerintah & Beli Beras

Foto: Infografis/Simpanan Dolar/Edward Ricardo

Kemampuan rumah tangga Indonesia untuk menabung semakin menurun. Kondisi tersebut tercermin dari net saving antara tabungan dan pinjaman yang berada di zona negatif. 

Laporan riset yang dirilis oleh Bank Central Asia (BCA) berjudul Running Low on Savings Fuel pada 15 Juli 2024 menunjukkan dalam setahun terakhir, simpanan uang atau tabungan di bank dari kelompok rumah tangga bertambah Rp115,5 triliun per Januari 2024. Sementara itu, mereka meminjam uang dari bank sebesar Rp121,2 triliun. Artinya secara net mereka ternyata lebih banyak pinjam ketimbang simpan dengan nilai Rp 5,7 triliun 

“Sehingga mereka secara net mereka bukan sumber dana,” ujar Ekonom Senior BCA, Barra Kukuh Mamia, kepada CNBC Indonesia.

Net saver negatif ini berbeda jauh dengan saat pandemi Covid-19 di mana rumah tangga memiliki tabungan dengan jumlah yang sangat besar dengan pinjaman yang sangat sedikit. Net saving pada awal 2020an hampir mendekati Rp 300 triiliun.

Di satu sisi, posisi net saving yang negatif ini mencerminkan jika masyarakat menarik simpanan mereka untuk konsumsi sehingga bisa menggerakkan ekonomi. Namun di sisi lain, kondisi itu juga mencerminkan terkurasnya dana murah di masyarakat. Padahal, rumah tangga selama ini menjadi net saver dan  menjadi source of fund berubah menjadi user.

Laporan BCA mencatat jika hampir tidak ada net saving sejak pertengahan 2022 atau sejak pulihnya pandemi Covid-19. 

BCAFoto: Households
Sumber: BI, MoF, OJK, calculations by BCA Economic Research

Sejumlah faktor menjadi pemicu mengapa net saving rumah tangga berada di zona negatif. Di antaranya adalah inflasi makanan, meningkatnya praktek judi online, investasi spekulatif, hingga gaya hidup generasi muda.

Berikut ini empat alasan mengapa net saver rumah tangga berubah menjadi negatif: 

1. Inflasi Bahan Pangan

Inflasi pangan dinilai memberikan tekanan bagi rumah tangga kelas bawah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa inflasi bahan makanan/food inflation cenderung mengalami kenaikan yang signifikan pada semester II-2023 dan sedikit melandai pada kuartal II-2024. Kelas bawah menghabiskan 75% pengeluaran mereka untuk makanan sehingga kenaikan harga pangan sangat menentukan pengeluaran rumah tangga.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa inflasi bahan makanan/food inflation cenderung mengalami kenaikan yang signifikan pada semester II-2023 dan sedikit melandai pada kuartal II-2024.

Inflasi bahan makanan tercatat 0,27% year on year/yoy pada Juli 2023 dan menembus Maret 2024 yakni sebesar 8,54% yoy.  Inflasi makanan bahkan pernah menembus 10,88% pada Juni 2022 yang menjadi rekor tertinggi sejak Juni 2017.

Ketika bahan makanan semakin mahal, masyarakat mau tidak mau akan menggunakan tabungan (makan tabungan/mantab) untuk memenuhi konsumsinya.

Data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa proporsi tabungan masyarakat dengan pengeluaran Rp1-2 juta cenderung menurun, terkhusus pada kuartal II-2024.

Lebih lanjut, Ekonom Senior Indonesia, Chatib Basri menyampaikan bahwa kelompok pendapatan terendah memang sejak masa Covid-19 adalah yang paling terdampak perekonomiannya, karena mereka juga telah menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti makan.

Data lainnya yang menunjukkan yakni laporan Mandiri Spending Index (MSI) yang dikeluarkan oleh Bank Mandiri menunjukkan bahwa tingkat belanja untuk kelompok bawah (konsumen dengan rata-rata tabungan < Rp1 juta) cenderung mengalami penurunan.

Peristiwa makan tabungan ‘mantab’ terlihat pada kelompok bawah dan menengah sejak kuartal IV-2023 hingga saat ini.

MSIFoto: Kelompok Bawah
Sumber: Mandiri Spending Index (Bank Mandiri)

Salah satu lonjakan pengeluaran bahan pangan adalah harga beras. Dalam setahun terakhir, harga beras sudah melesat 20% dan menembus rekor tertinggi pada Maret 2024. Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) rata-rata harga beras bulanan pada Januari 2023 dibanderol Rp 12.650/kg sementara pada Juni 2024 sudah mencapai Rp 15.350/kg.

Sementara itu, rata-rata harga beras bulanan tertinggi tercatat pada Maret 2024 di harga Rp 15.900/kg.
Kenaikan harga beras tentu saja membebani rumah tangga Indonesia karena beras menjadi salah satu pengeluaran terbesar bagi kelompok miskin ataupun menengah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan inflasi harga beras tembus 13,76% (yoy) pada Agustus 2023. Inflasi ini adalah yang tertinggi sejak Juni 2012. Menurut data BPS, pada Juni 2012, inflasi harga beras saat itu mencapai 16,22%.
https://datawrapper.dwcdn.net/POW9S/2/

2. Judi Online

Selain food inflation, banyaknya transaksi judi online (judol) juga memengaruhi jumlah deposit. Masyarakat berpenghasilan rendah cenderung digunakan untuk bertransaksi judol alhasil dana yang ditabung semakin sedikit.

Untuk diketahui, transaksi judol meningkat drastis selama lima tahun terakhir. Pemainnya bukan saja masyarakat perkotaan melainkan sampai merambah ke masyarakat desa.

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengatakan bahwa PPATK telah menemukan transaksi judol sejak 2017 silam. Saat itu, ia mengatakan, nilai transaksinya baru sekitar Rp2,1 triliun secara agregat. Namun, mulai 2019 hingga tahun ini meningkat drastis.

Menurut Ivan, pada 2018, transaksi judol tercatat nilainya masih sebesar Rp3,9 triliun. Lalu, naik ratusan persen hingga tembus Rp6,85 triliun pada 2019. Setelahnya naik lagi menjadi Rp15,77 triliun pada 2020.

Pada 2021, Ivan mengatakan, catatan terhadap transaksi judol sudah mencapai Rp57 triliun sendiri. Puncak tertingginya ialah pada 2023 lalu, dengan nilai transaksi secara agregat sebesar Rp327 triliun.

“Pada 2023 saja kami ketemu angka transaksi terkait judi online ini adalah Rp327 triliun, dan kuartal I tahun ini kami temukan transaksi sebesar Rp101 triliun lebih,” ucap Ivan.

3. Orang Kaya Pindah ke SBN

Surat Berharga Negara (SBN) menjadi instrumen investasi yang menawarkan imbal hasil yang menarik dibandingkan menaruh uang di bank.

Terpantau orang dengan penghasilan yang cukup tinggi menarik dananya dan memindahkan ke SBN (government bond). Di satu sisi, kenaikan pembelian SBN pemerintah bisa membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan. Namun, di sisi lain, hal tersebut menguras simpanan masyarakat ke kas pemerintah.

BCA mencatat bahwa net save households jika ditambahkan dengan SBN masih cenderung stabil bahkan mengalami tren naik dalam satu tahun terakhir.

BCAFoto: Households with and without SBN
Sumber: BI, MoF, OJK, calculations by BCA Economic Research

“Hal ini menandakan munculnya crowding out effect rumah tangga bukannya karena tidak menabung, namun tersedot semua ke instrumen utang pemerintah. Jadi instead of menaruh duit di bank, mereka cenderung investasi mungkin karena suku bunga tinggi,” kata Barra.

Sebagai catatan, penerbitan Surat Berharga Negara (ritel) melonjak dalam empat tahun terakhir. Sejak 2020, realisasi penerbitan SBN ritel berada di angka Rp77 triliun dan terus meningkat menjadi Rp107 triliun pada 2022.

Sementara pada 2023, tercatat total penerbitan SBN ritel menembus Rp 147,4 triliun. Hal ini dinilai cukup menggembirakan di tengah kondisi pasar yang cukup volatil. Namun, penerbitan SBN ritel ini juga membuat bank kehilangan dana murah karena simpanan masyarakat beralih ke SBN. Terlebih, kupon yang ditawarkan pemerintah melalui SBN juga tak kalah menarik dari deposito yakni di kisaran 6%. 
Contohnya, pemerintah menawarkan pilihan dalam 2 seri, yaitu SBR 013 -T2 tenor dua tahun dengan kupon 6,45% dan SBR 013 -T4 tenor empat tahun dengan kupon 6,60% pada Juni-Juli 2024.  Kupon tersebut jauh di atas bunga deposito yakni sekitar 2-4% untuk tenor dua tahun.

4. Investasi di Kripto

Anak mudah di Indonesia terpantau mulai masuk ke industri kripto selain ke pasar saham.

Terkhusus pada periode Januari-April 2024, jumlah investor kripto menembus angka 20 juta dengan total transaksi Rp211 triliun.

Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Bappebti, Tirta Karma Senjaya mengatakan bahwa angka ini melebihi transaksi disepanjang 2023 yang hanya Rp149 triliun dalam setahun.

Tirta menjelaskan ada beberapa aset kripto yang menopang nilai transaksi sepanjang 2024 yaitu USDT Tether, Bitcoin, Pepe Coin, Shiba Inu, dan Dogecoin. “Nilai transaksi ini justru ditopang oleh aset kripto yang fluktuasinya tinggi selama 4 bulan 2024. Pepe Coin, Shiba Inu, dan Dogecoin ini luar biasa berdampak pada nilai transaksi kripto pada 2024,” pungkas Tirta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*